Sebenarnya tulisan ini pernah dimuat pada opini_lombokpost. Dan maksud saya, memuat kembali tulisan ini di blog pribadi saya, tidak lain tidak bukan, hanya ingin kembali merangsang niat untuk menulis, dikarenakan banyak kegiatan yang menjadikan waktu menulis saya tidak terealisasi juga. Mudah-mudahan dengan memuat kembali tulisan ini, membuat saya aktif menulis lagi untuk pembaca-pembaca.
Konsepsi pendidikan bukanlah sekedar membuat anak didik menjadi sopan, taat, jujur, hormat, setia, sosial, dan sebagainya. Tidak juga hanya membuat mereka tahu ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta mampu mengembangkannya. Namun pendidikan dimaksudkan untuk membantu anak didik dengan penuh kesadaran mengembangkan dan menumbuhkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan umat Tuhan.
Konsepsi pendidikan bukanlah sekedar membuat anak didik menjadi sopan, taat, jujur, hormat, setia, sosial, dan sebagainya. Tidak juga hanya membuat mereka tahu ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta mampu mengembangkannya. Namun pendidikan dimaksudkan untuk membantu anak didik dengan penuh kesadaran mengembangkan dan menumbuhkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan umat Tuhan.
Tujuan konsepsi ini paling
tidak dapat direfleksikan berturut-turut dari pendapat Ki Hajar Dewantara yang mengatakan:
“Pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan
kebahagian yang setinggi-tingginya.” Dan definisi Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 yang tertulis dan terbaca, “Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”
Sudah tentu konsepsi
tersebut tidak luput dari kegiatan mendidik yang memang sebagai upaya nasional membudayakan
manusia dan memanusiakan manusia Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama,
kebudayaan nasional Indonesia dan yang tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman. Mendidik anak didik menjadi terdidik, adalah perbuatan mulia seorang
pendidik yang hidupnya untuk mengajar bukan mengajar untuk hidup, karena
bukankah “orang terdidik yang alim itu lebih tinggi dan utama daripada orang
yang suka ibadah (sunat)”?. Dalam hal ini mencari puncak kebenaran dengan
sarana belajar-mengajar, menyakinkan untuk memungkinkan dan bahkan ternilai
benar meransang kita dapat menyembah Tuhan secara benar, membedakan antara
benar dan salah, baik dan buruk, indah dan jelek, dan kepalsuan.
Keapatisan terhadap
ilmu pengetahuan bisa jadi termanifestasi berlaku kejam kepada diri sendiri dan
menghukum dirinya dengan beribadah kepada Tuhan tanpa ilmu pengetahuan yang
tepat. Sehingga janganlah kita pendidik berhenti menyelamatkan dan memperkaya
perbendaharaan ilmu pengetahuan yang mereka peroleh, karena memperlakukan anak
didik seperti yang seharusnya, berarti telah membantunya mewujudkan apa yang
mampu mereka wujudkan, dan pendidik tidak berarti apa-apa bilamana tidak
mempunyai pengetahuan tentang anak didiknya.
Dalam kegiatannya,
pendidikan dapat digolongkan sebagai suatu unsure
cultural-activity dan speciality,
sebab kegiatan tersebut menuntut suatu keahlian dan kebijaksanaan eksistensial
emansipatoris. Kegiatan pendidikan hal yang praktis, yang menuntut alasan dasar
tindakan yang berupa jawaban terhadap pertanyaan “mengapa bertindak A dan bukan
B”. Hal ini menuntut teorisasi, suatu pemikiran keilmuan generasi muda. Dengan
demikian kegiatan pendidikan mengupayakan terbentuknya pendukung kebudayaan
yang muda usia sebagai spesialis. Namun hingga kini kegiatan pendidikan nusantara
yang teridentifikasi sudah terselenggara ribuan tahun yang lampau, yang terekam
pada kesenian rakyat, cerita rakyat, dan kesusastraan, ataupun
peninggalan-peninggalan budaya nusantara, namun hingga kini tampak bahwa
teorisasi pendidikan dalam kebudayaan Indonesia belum banyak dilakukan.
Adagium “dimana
jatidiri bangsa Indonesia disitu pancasila, undang-undang dasar 1945, bhinneka
tunggal ika, tut wuri handayani, dan NKRI berada.” Menemukan jatidiri hanya
dapat diperoleh dengan cara belajar, belajar menjadi manusia Indonesia agar
mampu mempaku dalam diri konsep Negara tersebut sebagai cerminan warga Negara
bangsa Indonesia.
Pendidikan di Indonesia
adalah tindak mendidik terhadap manusia Indonesia. Perbuatan mendidik hanya
cocok dengan “kemungkinan terjadinya perbuatan mendidik secara ilmu pengetahuan”
dan “hakikat manusia” itu sendiri. Paradigma pencerdasan kehidupan bangsa
diduga dapat memperoleh konsep-konsep baru tentang pendidikan anak bangsa
Indonesia dan tidak terpisah dari tindak-tindak melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
dan gerakan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dan perlu diketahui cita-cita pendidikan
di Indonesia jelas tidak sama dengan cita-cita pendidikan bangsa atau Negara
asing. Bangsa Indonesia mempunyai cita-cita pendidikan yang pasti yang harus
dikejar dan diwujudkan, yaitu manusia Indonesia seutuhnya yang dijiwai oleh
sila-sila pancasila.
Tindak merealisasikan
teori pendidikan Indonesia yang menguraikan definisi pendidikan, tujuan
pendidikan, model pendidikan, dan cara mencapai tujuan yang jelas perlu kembali
dibukukan dengan penelitian-penelitian oleh ahli pendidikan Indonesia. Sehingga
mempermudah perkontruksian strategi, pendekatan, siasat, atau taktik oleh
pendidik sendiri berdasarkan pengetahuan, pemahaman, logika, dan pengalamannya
terhadap anak didik di tanah air merupakan idealisasi bentuk dari seni mendidik
yang cukup terbilang urgen dilakukan oleh pendidik Indonesia ataupun pendidik
di Indonesia. Seni mendidik ini bukanlah milik khusus teori umum pendidikan,
melainkan juga milik pendidikan secara umum dan milik ilmu pendidikan.
Terkait dengan
metamorposis kurikulum yang dianggap oleh tidak banyak orang sebagai cara
mencapai tujuan dengan sifat tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman atau
arus globalisasi, perlu dilakukan filterisasi pandangan, yakni pandangan yang
perlu difilterisasi adalah cara memandang pendidikan tidak sepenuhnya sebagai
upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan proses pemerdekaan manusia, tetapi
mulai berhijrah menuju pendidikan sebagai komoditas. Cara memandang seperti ini
jelas tidak secara langsung menghukum pemangku kebijakan dengan anggapan bentuk
impor teorisasi eksternal yang esensialnya mementingkan peranan bangsanya
sendiri, dan tentunya akan menganggap kita sudah benar-benar telah ketergantungan
intelektual.
Masih belum dingin
inisiasi hari pendidikan nasional kemarin, dapatlah kita kembali bersua kata
dengan meng-alienasi-kan sikap ketergantungan intelektual ataupun cara
memandang teori eksternal lebih jelas bagus dibanding dengan teori-teori
internal yang bersumberisasi kebudayaan Nusantara. Terakhir, hakikat pendidikan
nasional adalah membangun peradaban bangsa melalui membangun manusia seutuhnya.
Pendidikan merupakan hak setiap umat Tuhan. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat
dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya
suatu bangsa dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan suatu bangsa. Bagus
ikhlas tidaknya pendidik mendidik dapat dilihat dari budaya belajar dalam
pendidikan anak didik kita. Sehingga mari kita selami lautan ilmu pengetahuan
itu, tapi jangan sampai kita tenggelam-mati di dasar lautan ilmu pengetahuan
itu. Mari kita bersama-sama timbul kembali dengan membawa mutiara pendidikan
keindonesiaan untuk perhiasan ibu pertiwi. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar